“Oleh : Muhammad Ali Murtadlo“
Kita kembali digegerkan dengan perilaku diskriminasi sosial. Perlakuan diskriminasi di Indonesia seolah tidak ada habisnya. Lihatlah, masih saja terjadi perlakuan yang tidak adil oleh pemegang kekuasaan. Yang menyita perhatian publik pekan ini adalah meninggalnya bayi Dera Nur Anggraini. Dera meninggal lantaran ditolak oleh beberapa Rumah Sakit saat kondisinya kritis.
Kisah Dera ini sangat berbanding terbalik dengan Airlangga Satriadhi Yudhoyono, cucu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Anak pertama pasangan Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) dan Siti Rubia Aliya Rajasa ini mendapat pelayanan VVIP, bahkan tim dokter Kepresidenan yang merawat bayi mungil tersebut.
Terlepas dari alasan karena ruangan penuh maupun keterbatasan alat, kejadian ini menjadi ironi di negeri ini. Ternyata orang miskin masih belum bisa menikmati fasilitas yang semestinya adalah hak semua warga negara.
Diskriminasi
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dalam pasal 28H ayat (1) menyebutkan, bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Bukan hanya itu di beberapa ayat berikutnya juga jelas dibeberkan bahwa setiap orang berhak memperoleh kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Dalam pasal kelima Pancasila juga secara jelas memaparkan bahwa negara akan menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Melihat fakta yang terjadi selama ini, semakin memperjelas kita bahwa Pancasila dan UUD hanya sebagai pesan kosong. Alih-alih keadilan yang dicapai, malah diskriminasi itu jelas terlihat. Bahkan di tahun 2013 yang disebut-sebut sebagai tahun politik ini, diskriminasi itu masih saja terjadi.
Selama delapan tahun belakang ini, kasus diskriminasi meningkat menjadi 1.483 kasus. Direktur Yayasan Denny JA, Novriantoni Kahar, mengatakan, berdasarkan catatan yayasan yang bergerak di bidang keberagaman itu, setidaknya ada 915 kasus kekerasan diskriminasi yang terjadi pascareformasi tahun 1998-2004. Dari jumlah itu, kekerasan diskriminasi per tahun mencapai 150 kasus.
Kejadian meninggalnya Dera hanyalah sebagian kecil dari korban diskriminasi di negeri ini. Banyak kasus-kasus lain yang belum mencuat ke permukaan. Dera hanyalah satu dari jutaan rakyat Indonesia yang menjadi korban “kebengisan” aksi para elite pemerintahan.
Para pemegang kekuasaan yang seharusnya bertanggung jawab atas kejadian ini malah berpangku tangan dengan berbagai dalih. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi mengatakan kondisi buruk Dera yang lahir prematur menjadi penyebab utama meninggalnya bayi tersebut. Menteri seharusnya tidak logis berkata demikian. Memang, hidup dan mati seseorang tergantung Tuhan. Tapi setidaknya ada upaya untuk mencegah atau bahkan menyembuhkan, sehingga nyawa bayi tersebut bisa diselamatkan. Apa gunanya Rumah Sakit jika tak sanggup mengobati orang sakit?
Setidaknya, dengan mencuatnya kasus Dera membuka mata pemimpin untuk lebih meningkatkan pelayanan kepada publik. Dinas kesehatan beserta Pemprov DKI Jakarta berniat untuk melengkapi peralatan kesehatan. Kita patut mengapresiasi langkah itu, namum seharusnya jangan hanya di Jakarta yang hendak diadakan perbaikan pelayanan kesehatan publik melainkan seluruh penjuru Indonesia.
Mengingat Jakarta adalah kota megapolitan tentu semua fasilitas terpenuhi. Beda dengan tempat-tempat lain yang terpencil. Jangankan Rumah Sakit yang bertaraf internasional, Puskesmas saja masih sulit ditemukan. Kalau hanya di Jakarta yang akan diperlengkap lagi fasilitasnya, berarti telah terjadi diskrimanasi sosial. Pelayanan kesehatan harus merata di seantero Indonesia, meskipun di daerah pelosok. Yang jelas, siapa pun orangnya, apapun pangkatnya dan dari mana dia berasal, ketika sakit berhak dan wajib mendapatkan pelayanan yang terbaik. Sangat disayangkan semua perbaikan itu dilakukan setelah terjadi kasus bayi Dera meninggal. Jika kasus itu tidak terjadi, mungkin mereka tetap akan acuh dengan kondisi pelayanan publik selama ini.
Kisruh Politik
Sementara itu, di tengah kondisi bangsa yang penuh diskriminasi ini, para elite negara sibuk untuk mempersiapkan pemilu 2014 mendatang. Mereka yang notabene adalah wakil rakyat yang ditugaskan untuk melayani kebutuhan masyarakat malah bersenang-senang di atas penderitaan rakyatnya. Seharusnya para petinggi negara harus mampu menyejahterakan rakyat. Karena bagaimana pun tugas pemimpin adalah untuk menyejahterakan rakyat.
Beberapa kasus permainan politik yang sedang mencuat akhir-akhir ini, seperti terungkapnya skandal korupsi Hambalang, korupsi daging sapi impor, simulator SIM, skandal Bank Century dan kasus-kasus lain yang menjerat petinggi partai politik itu memperjelas lagi bahwa politik memang licik. Namun dengan saling serang antarparpol ada sisi positifnya juga. Dengan saling serang itu, bisa jadi semua skandal korupsi di negeri ini bisa terungkap.
Kepemimpinan seorang pemimpin itu diukur dari kemampuan menyejahterakan orang yang mereka pimpin. Salah satu kaidah fiqih mengatakan “Sikap dan kebijakan seorang pemimpin atas rakyat mereka, haruslah didasarkan kepada kesejahteraan rakyat yang dipimpin itu”. Di sini jelas, bahwa pemimpin tugasnya adalah melayani, mengayomi dan menyejahterakan rakyat, bukan mendiskriminasi.
Terlepas dari itu, kita berharap kisruh politik yang lagi mencuat ini tidak melalaikan tanggung jawab para pemimpin. Bolehlah mereka berkonspirasi politik asalkan amanah yang telah diemban harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Bukankah menyia-yiakan amanah adalah tindakan yang durjana? (*)
Penulis: Aktivis Laskar Ambisius di AMBISI (Aliansi Mahasiswa Bidik Misi) IAIN Sunan Ampel Surabaya.***