“Oleh : Hendra Sugiantoro“
Pasal 50 Ayat (3) dalam UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No. 20/2003 yang menjadi payung hukum penyelenggaraan Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI) dinilai inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Pasal tersebut berbunyi, “Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional”.
Meskipun pembatalan pasal tersebut masih bisa memunculkan diskursus intelektual, namun faktanya keberadaan RSBI dan SBI justru menampakkan wajah diskriminasi dan kastanisasi. Tak hanya antara sekolah berlabel RSBI dan SBI dengan sekolah non-RSBI dan non-SBI, namun juga dalam satu sekolah. Coba bayangkan dalam satu sekolah ada ruang kelas RSBI dan ruang kelas reguler. Disadari atau tidak, sekolah telah mengajarkan kepada siswa-siswanya pola diskriminasi dan sekaligus melegitimasi ketimpangan sosial. Itu tentu proses mendidik yang kurang positif.
Secara konsep, RSBI dan SBI telah menimbulkan polemik sejak awal. Dengan dalih peningkatan kualitas pendidikan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bersikukuh menggulirkannya sejak tahun ajaran 2006/2007. Dari data yang penulis peroleh, sampai tahun 2011, jumlah RSBI di Indonesia telah mencapai 1.305 sekolah (239 SD, 356 SMP, 359 SMA, dan 351 SMK). Kemdikbud juga tak alpa memberikan subsidi sekitar 11,2 triliun untuk 1.172 sekolah berlabel RSBI dan SBI dari tahun 2006 sampai tahun 2010. Itu belum dana dari pemerintah daerah dan yang ditarik dari masyarakat. Sebagaimana disaksikan, selama bertahun-tahun itu, keberadaan RSBI dan SBI tak sepi dari kontroversi, seperti soal mahalnya biaya, bahasa yang dipergunakan, materi yang diajarkan, dan sebagainya. Kita tak asing dengan plesetan “sekolah bertaraf internasional” menjadi “sekolah bertarif internasional”. Malah tak dipungkiri apabila para pelaksana pendidikan di sekolah tak satu pun memahami artinya terkait “berstandar internasional”.
Dalam hal ini, penulis tertarik dengan pemaparan pakar pendidikan Ki Supriyoko (2010). Beliau menjelaskan bahwa tak ada kurikulum yang disepakati secara internasional, bahkan tak ada kualitas internasional. Sekolah-sekolah di Inggris dan bekas jajahan Inggris cenderung menerapkan “Kurikulum Cambridge”. Banyak sekolah di Perancis dan Jepang menerapkan “Kurikulum IBO”. Di Australia, kurikulumnya bisa berbeda apabila provinsi atau teritorinya berbeda. Billanook School dan Trinity School yang dikenal berkualitas di Australia, namun berbeda ukuran kualitasnya.
Menurut penulis, paradigma para perumus kebijakan pendidikan selama ini cenderung kurang tepat. Artinya, perlu perubahan cara pandang untuk mengelola pendidikan nasional agar benar-benar bisa memajukan seluruh manusia Indonesia. Konsep “pendidikan untuk semua”, “pemerataan kualitas pendidikan”, dan sejenisnya tentu dimengerti oleh Kemdikbud dari menteri beserta jajarannya. Namun, cara pandang yang keliru bisa memunculkan kebijakan yang kurang tepat. Sesungguhnya kita mengapresiasi setiap upaya Kemdikbud meningkatkan kualitas pendidikan, tetapi janganlah meniru gaya kolonial Belanda di zaman silam yang membagi-bagi sekolah untuk anak bumiputera kalangan elite dan anak bumiputera kalangan kawula alit. Ketika negara Indonesia didirikan, hal tersebut justru hendak dilenyapkan.
Pemerintah via Kemdikbud selayaknya memahami bahwa setiap anak bangsa berhak mendapatkan pendidikan yang bermutu dengan jaminan negara. Sebagai anugerah Tuhan, setiap anak bangsa harus memperoleh ruang tumbuh berkembang dan beraktualisasi tanpa diskriminasi. Keadilan sosial adalah maksud negara ini didirikan yang perlu mengilhami proses pendidikan di sekolah. Sekolah-sekolah di Indonesia tak perlu label. Jika pun perlu, cukup sekolah berlabel Republik Indonesia! Cara pandang tersebut menegaskan pentingnya menjadikan seluruh sekolah di negeri ini berkualitas tanpa terkecuali. Menurut perspektif standar nasional pendidikan, standar isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, kompetensi lulusan, sarana prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian perlu terealisasikan di setiap sekolah. Manajemen anggaran pendidikan (tanpa dikorupsi) menjadi salah satu strategi memajukan sekolah-sekolah yang rendah kualitasnya. Wallahu a’lam.***