“Oleh : Sopaat Rahmat Selamet”

green-ornament-maulid-nabiTepat 1434 tahun lalu, 1 Rabiulawal 1 H Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar Shidik melakukan perjalanan Hijrah. Dari Gua Tsur tempat persembunyian sementara berangkat dengan mengupah Abdullah bin Uraiqith menjadi guide menuju pintu masuk ‘perkampungan’ Yatsrib. Sepekan kemudian, Senin, 8 Rabiulawal memasuki desa Quba. Pada 12 Rabiulawal (27 September 622 M) tepat memasuki Yatsrib.  Inilah disebut momentum Hijrah.  Diawali dengan membangun masjid di Quba, kemudian melaksanakan shalat Jumat di kampung Bani Slaim bin Auf (AlMubarakfury, 2005:232-233).

Momentum inilah yang mencatat sejarah peradaban dunia. Merubah tatanan masyarakat yang biadab menjadi beradab. Dengan disambut anak-anak gadis mendendangkan bait-bait syair gembira: “Telah terbit bulan purnama dari arah Tsaniyatul Wada, kita wajib bersyukur dengan berdoa kepada Allah semata, wahai orang yang diutus kepada kami, kau datang membawa urusan yang ditaati”. Semua rumah dan jalan ramai dengan ucapan tahmid dan taqdis. Ini adalah hari yang amat monumental.  Demikianlah diceritakan AlMubarakfury dengan indah.

Peristiwa penada peradaban ini dijadikan patokan untuk menentukan tonggak perhitungan kalender umat Islam yang dikenal kalender Hijrah. Semasa pemerintahan Khalifah Amirul Mukminin Umar bin Khattab atas saran Imam Ali bin Abi Thalib kwh. Tujuan menjadikan momentum ini untuk mengambil zeitgest  (semangat zaman) dari peristiwa Hijrah. Diharapkan umat bisa mengambil teladan dalam menata masyarakat dengan bercermin pada tatanan masyarakat Madani. Masyarakat yang bertamaddun, masyarakat berperadaban, bukan masyarakat yang biadab.

Begitu pentingnya peristiwa Hijrah sebagai tonggak menata masyarakat baru diilustrasikan firman Allah sebagai ayat-ayat prediktip, 7 tahun sebelumnya. Momentum Hijrah diberitakan sebagai peristiwa yang akan menggembirakan kaum muslimin (QS Ar-Rum: 2-4). Tahun 622 M merupakan tahun penting yang menggembirakan umat mukmin karena ada peristiwa Hijrah yang membawa pada kemenangan dalam menata masyarakat baru yang beradab. Tahun terjadinya Hijrah bersamaan dengan kemenangan bangsa Romawi atas Persia, dalam peperangan di negeri terendah di muka bumi (adna al-ardh), yaitu Laut Mati.

Kemenangan bangsa Romawi ini tidak ada hubungan sebab akibat dengan umat mukmin dalam hijrah. Hanya saja ayat 2-4 surat Ar-Rum ini mengisaratkan mukjizat Alqur’an (berita gaib yang akan terjadi antara 3-9 tahun lagi), makna bid’i siniina adalah 3-9 tahun. Sekaligus ini sebagai mukjizat bahwa Quran memberitakan bahwa negeri terendah di muka bumi adalah Laut Mati, sebagaimana ditunjukkan kata adna al-ardh. Dikatakan mukjizat, karena waktu itu dunia ilmu pengetahuan atau sains belum ada yang menjangkaunya.

Baru di abad modern informasi Quran itu terbukti. Pengetahun modern mencatat titik terendah di bumi itu ada di Laut Mati.  Sebagai lokasi titik terendah di muka bumi, Laut Mati berada pada 422 meter di bawah permukaan air laut. Laut Mati adalah sebuah danau  seluas 67 kmx 18 km yang diapit Israel di baratnya dengan Yordania di timurnya (Trinity, Naked Traveler, 2011:16)

Rabiulawal adalah spirit perjuangan nabi dan sahabatnya dalam membangun tatanan masyarakat berperadaban (Masyarakat Madani). Masyarakat yang memiliki ciri-ciri berdaulat, alias mandiri secara ekonomi, budaya, sosial, hukum dan politik. Masyarakat yang merdeka dari pengaruh luar, justru memberikan pengaruh pencerahan peradaban bagi masyarakat atau bangsa di luarnya. Inilah hakikat pesan spirit Rabiulawal.

Rabiulawal, Sejarah dan Budaya Mulud

Jauh setelah peristiwa nabi dan para sahabatnya membangun masyarakat Madani. Di abad 12 M atau 600 tahun sepeninggal nabi saw–yang melarang umatnya mengkultuskan beliau, ditakutkan umatnya lupa sunah beliau. Karena kultus atau pemujaan berlebihan, bisa melupakan isi esensial dengan kulitnya. Nabi pun ketakutan kalau suatu saat umatnya mengkultuskan beliau, khawatir jatuh mendekati kepada kemusyrikan seperti umat sebelumnya. Karena itulah tidak heran para sahabat dan generasi tabiin tak berani merayakan atas kelahiran beliau (maulidan), karena kehati-hatian mereka.

Baru di masa panglima Salahuddin Yusuf Al-Ayubi (1138-1193 M), karena kondisi mental psikologi masyarakat muslim (di Mesir) memudar sebagai akibat peperangan panjang, diadakanlah acara peringatan atas kelahiran nabi (Maulidan), yang maksudnya membangkitkan spirit untuk meneladani nabi saw. Sebagian riwayat menyebutkan inisiatornya seorang gubernur dinasti AlAyubiah bernama Abu Said AlQakburi, sebagian menyebutnya Salahudin sendiri sebagai initatornya.

Tradisi mengingati kelahiran nabi maulidan atau muludan ini berkembang ke kalangan umat muslim lainnya. Terus berkembang berabad-abad lamanya, terutama di abad 17-18 M, lahir karya ulama Jafar bin  Hasan  bin Abdul Karim Al Barjanzi (1690-1766 M), seorang ulama qadhi (hakim) di Madinah yang menulis biografi atau Sirah Nabi yang dikenal dengan kitab Al Barjanzi.

Kitab karya sastrawi, semacam sejarah yang dituturkan dalam roman-puitis  kehidupan nabi saw ini kemudian dianggap sebagai bagian ritual ibadah di sebagian pusat-pusat kajian atau semacam pesantren di dunia Islam. Kitab Al Barjanzi ini merupakan hasil karya produk budaya literasi umat muslim di waktu itu, yang mirip dengan karya Biografi atau Sirah Nabawiyah Syekh Syafiurrahman Al Mubarakfury di abad 20 M, sebagai karya terbaik dalam lomba karya tulis Rabithah Al-alam Islami. Keunggulan karya Al Barjanzi karena keindahan irama-irama bait syairnya yang puitis sehingga enak di dengar dan dianggap bukan sekedar teks bacaan.  Lebih dari itu dijadikan atau dianggap proses ritual keagamaan.

Begitulah sebagian cara umat Islam  melakukan kreasi budaya dengan maksud menghormati al Mushtafa,  manusia teladan zaman Muhammad saw. Momentum Rabiulawal memang telah memberikan spirit umatnya untuk berkreasi, berkarya dalam upaya mencintainya. Wallahu’alam bisahawab. (*)