Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Alie mengatakan, secara pribadi, dirinya menginginkan sistem pemilu tertutup. Suryadharma, yang juga Menteri Agama, berpendapat, sistem pemilu tertutup jauh lebih efektif ketimbang sistem pemilu terbuka.
Pada pemilu 2004, pemilu legislatif menganut sistem tertutup. Saat itu, menurut Suryadharma, sidang paripurna dan ruang komisi tampak kosong pada tahun kelima. Sementara itu, pada pemilu legislatif 2009 yang menganut sistem pemilu terbuka, sidang paripurna dan ruang komisi tampak kosong bahkan pada saat tahun pertama.
“Saya bandingkan, output pemilu dengan sistem tertutup dan sistem terbuka, khususnya legislatif, maka yang tertutup jauh lebih baik,” kata Suryadharma kepada para wartawan di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (14/3/2012).
Sistem pemilu legislatif tertutup berarti calon anggota legislatif yang terpilih itu berdasarkan nomor urut. Pemilih cukup mencontreng parpol saja. Selanjutnya, parpol yang akan menentukan siapa yang akan duduk di Parlemen. Kendati Suryadharma menghendaki sistem tertutup, partai yang dipimpinnya menghendaki sistem pemilu terbuka. Suryadharma mengaku belum mendapat informasi utuh terkait pilihan tersebut.
“Yang penting ada semacam evaluasi bersama untuk bisa melahirkan kader-kader parlemen yang lebih baik,” kata Suryadharma.
Terkait soal ambang batas atau parliamentary threshold (PT), PPP dapat naik dari 2,5 persen. Sementara itu, Partai Golkar menyodorkan usulan sistem yang menggabungkan daftar calon terbuka dan tertutup.
“Partai Golkar melihat yang terbaik adalah penggabungan sistem pemilu terbuka dan tertutup dengan proporsi 70 persen sistem pemilu proporsional terbuka dan 30 persen tertutup,” tutur Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie, Rabu (21/12/2011) di Jakarta.
Secara terpisah, anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi Partai Golkar Nurul Arifin menjelaskan usulan ini muncul untuk mengatasi kemungkinan kebuntuan dalam lobi. Sistem gabungan ini, menurut Nurul, tidak merugikan calon legislatif yang mendapatkan suara terbanyak. Namun, ketika suara diberikan kepada partai, otoritas untuk menentukan siapa yang melenggang ke Senayan ada pada partai politik.
Sebaliknya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengharapkan sistem proporsional tertutup. Ini, menurut Ketua Pansus RUU Pemilu yang juga anggota Fraksi DPIP Arif Wibowo, mengembalikan fungsi dan otoritas parpol. Namun, tahapan pemilu diperbaiki supaya ada keterbukaan dan masyarakat dapat mencegah kesewenang-wenangan partai politik dalam menentukan caleg.
Perbaikan dilakukan dengan mensyaratkan partai calon peserta pemilu untuk memiliki sistem rekrutmen dan seleksi caleg yang baku. Ini dibuktikan dengan surat keputusan partai yang kemudian dipublikasikan KPU, misalnya satu setengah tahun sebelum pemilu. Mengetahui cara rekrutmen yang dilakukan parpol, masyarakat dapat mencegah kesewenang-wenangan parpol dalam menyeleksi bakal calon legislatifnya.
Daftar calon sementara juga harus diumumkan sekitar setahun sebelum pemilu. Masyarakat dapat memberikan masukan terkait caleg yang diharapkan. Ketika parpol melanggar aturan yang dibuatnya sendiri, masyarakat dapat memberi “hukuman” dengan tidak memilih parpol itu.
“Ini lebih sederhana, warga hanya memilih tanda gambar tetapi mengetahui siapa caleg dan nomor urutnya. Jadi bukan membeli kucing dalam karung,” tutur Arif.
Sementara itu, fraksi lain juga mulai berubah pilihan. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang sebelumnya mengusulkan sistem proporsional terbuka kini mendukung sistem proporsional tertutup. Sebaliknya, anggota Fraksi Partai Hanura dan Partai Gerindra yang berada di Pansus RUU Pemilu masih mendorong sistem proporsional terbuka.